Radar Tipikor, Halmahera Utara – Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang oleh dua oknum polisi Polres Halmahera Utara mencuat ke publik setelah laporan dari warga dan pengakuan sopir mobil pengangkut minyak pangkalan Desa Tolonuo, Kota Tobelo, pada 10 Desember 2024. Laporan tersebut menyebutkan bahwa kedua oknum polisi diduga merampas jatah minyak tanah bersubsidi milik tiga pangkalan, yaitu milik Murniati Barakati, Ratu Balqis Mafoloi, dan Illiyin Kary, yang telah merugikan para pemilik pangkalan selama berbulan-bulan. Kamis (19/12/24)
Seorang narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan mengungkap bahwa aksi tersebut dimulai sejak Agustus hingga Desember 2024. Menurutnya, oknum polisi berinisial Thoha Alhadar, S.H., yang menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Halut, mendatangi pangkalan-pangkalan tersebut dan menyatakan bahwa mereka tidak lagi berhak mendapatkan pasokan minyak tanah bersubsidi atas perintah Kapolres Halut AKBP Faidil Zikri, S.H., S.I.K.
“Jatah minyak kami diambil tanpa dasar hukum yang jelas. Kalau memang bermasalah, harusnya ada surat penyitaan resmi. Minyak tanah yang dirampas lalu ditimbun di pekarangan milik seseorang berinisial Rit, sebelum akhirnya diangkut ke Halmahera Tengah untuk dijual ke perusahaan pengaspalan PT Sama Sejati,” ungkap narasumber dengan geram.
Ia juga menyebutkan bahwa setiap pangkalan kehilangan hingga tiga drum minyak setiap bulan. Dalam lima bulan terakhir, total sekitar 90 drum minyak tanah telah dirampas.
Setelah Divisi TPF (Team Pencari Fakta) Radar Tipikor melakukan koordinasi dengan praktisi hukum Oktovianus Leki, S.H. menilai tindakan ini diduga melanggar sejumlah aturan hukum, di antaranya:
- UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 55, yang mengatur bahwa setiap pihak yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak bersubsidi dapat dikenakan sanksi pidana. Hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda hingga Rp60 miliar.
- Kode Etik Profesi Polri, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 7 Tahun 2022 Pasal 5, yang menegaskan bahwa anggota Polri dilarang:
- Menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
- Bertindak tidak adil atau tidak transparan dalam melaksanakan tugas.
Menurutnya jika terbukti bersalah, kedua oknum maupun para oknum yang terlibat atau turut serta dapat dipecat secara tidak hormat sesuai Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, Pasal 21, yang mengatur bahwa pelanggaran berat seperti penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum dapat dikenakan sanksi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat).
Tim investigasi media Radar Tipikor mencoba mengonfirmasi dugaan ini dengan menghubungi Kasat Reskrim Polres Halut, Thoha Alhadar, namun tidak mendapat respons. Pada 16 Desember 2024, Thoha akhirnya memberikan tanggapan singkat, “Jika benar ada anggota yang bermain, segera laporkan kepada saya, dan akan saya tindak.”
Namun, pernyataan ini dinilai janggal bagi Oktovianus Leki, S.H. “Bagaimana mungkin Kasat Reskrim memeriksa dirinya sendiri? Ini jelas melanggar prinsip keadilan. Jika benar terbukti ada penimbunan BBM bersubsidi di pekarangan masyarakat, tindakan ini melanggar UU Migas dan Kode Etik Polri,” tegasnya.
Desakan kasus ini menjadi perhatian publik karena mencoreng nama baik institusi Polri, yang saat ini masih berjuang memulihkan citra di mata masyarakat. Praktisi hukum mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo jangan takut dan harus komitmen untuk bertindak tegas dengan mencopot kedua oknum polisi yang diduga terlibat dan memprosesnya sesuai hukum yang berlaku.
“Jika tindakan tegas tidak segera diambil, kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan semakin terkikis,” ujar Oktovianus Leki.
Masyarakat Tobelo Halmahera Utara maupun korban berharap ada transparansi dalam penyelidikan kasus ini agar keadilan dapat ditegakkan dan hak-hak rakyat kecil tidak terus dirampas oleh oknum yang menyalahgunakan jabatannya.
(Bersambung)
Penulis : Dodi
Editor : Redaktur Jakarta