Tidore, Maluku Utara – Pembangunan konstruksi Dinding Benteng Tahula yang berada di Kelurahan Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara, menjadi sorotan tajam. Proyek yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Wilayah XXI ini diduga tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. Akibatnya, negara berpotensi mengalami kerugian hingga miliaran rupiah, apa jadinya jika hal ini diketahui presiden Prabowo Subianto kalau kementrian nya bekerja tidak baik dan profesional. Sabtu (04/01/25)
Proyek dengan nilai kontrak sebesar Rp5,2 miliar ini dilaksanakan oleh CV. Karya Pratama selaku kontraktor pelaksana dan diawasi oleh CV. Putra Arena Masa sebagai konsultan pengawas. Berdasarkan kontrak Nomor 066/SP/TENDER/BPK-XXI/2024 yang ditandatangani pada 6 September 2024, pekerjaan ini dijadwalkan selesai dalam 117 hari kalender.
Namun, hasil pemantauan di lapangan menunjukkan kualitas konstruksi yang buruk. Dinding beton terlihat rapuh, tidak memiliki daya tahan yang baik dan tidak bisa bertahan lama, juga berpotensi membahayakan keselamatan masyarakat sekitar. Salah satu warga setempat menyatakan, “Kondisi dinding ini sangat mengkhawatirkan. Jika tidak segera diperbaiki, dikhawatirkan akan roboh dan menimbulkan korban jiwa.”

Besar dugaan hasil pekerjaan pada dinding benteng tahula tidak sesuai dengan kualitas uji konstruksi maupun uji beton oleh badan atau lembaga terpercaya maupun bersertifikasi khusus, bukan Abal abal untuk melakukan uji tes konstruksi secara detail dan menyeluruh agar dapat dipertanggungjawabkan karna menggunakan uang negara
Pakar praktisi Hukum Oktovianus Leki, SH. Menegaskan bahwa proyek ini diduga melanggar sejumlah regulasi terkait standar konstruksi, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 35 ayat (1) yang mengatur bahwa penyedia jasa wajib mematuhi standar mutu yang ditetapkan.
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan dan Pengujian Beton, yang mewajibkan hasil konstruksi memenuhi standar keamanan dan ketahanan.
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama Pasal 2 dan Pasal 3, jika terbukti ada kongkalikong atau penggelapan anggaran proyek.
Apabila terbukti ada pelanggaran, pihak-pihak terkait, termasuk kontraktor pelaksana dan konsultan pengawas, dapat dikenai sanksi pidana maupun administrasi. Ancaman pidana dalam kasus korupsi, misalnya, dapat mencapai hukuman 20 tahun penjara sesuai Pasal 2 UU Tipikor.
Lanjut Oktovianus, terkait tanggung Jawab dan dugaan kongkalikon pada proyek ini seharusnya menjadi tanggung jawab penuh dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Wilayah XXI sebagai penyelenggara. Namun jelas, kuat dugaan terjadi kongkalikong antara penyedia jasa dan pelaksana proyek.
Seorang pengamat kebijakan publik menyebutkan, “Dengan nilai proyek miliaran rupiah, kualitas yang buruk seperti ini sulit diterima. Sangat mungkin ada keuntungan yang dinikmati secara tidak sah oleh pihak-pihak tertentu.”
Masyarakat kini mendesak pihak penegak hukum, seperti Kejaksaan Tinggi Maluku Utara maupun Kepolisian, untuk segera mengusut tuntas kasus ini. Jika tidak segera ditangani, proyek dengan anggaran negara yang besar ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menimbulkan risiko besar bagi masyarakat setempat.
“Kami ingin transparansi dan pertanggungjawaban. Jangan sampai proyek ini hanya menjadi ladang keuntungan pribadi bagi pihak-pihak tertentu,” tegas salah satu aktivis anti-korupsi di Tidore Ibrahim Yusuf yang sering di panggil Iber.
Dengan kondisi konstruksi yang terlihat rapuh dan tidak sesuai standar, semua mata kini tertuju pada hasil penyelidikan lebih lanjut. Apakah proyek ini hanya kelalaian, atau ada unsur kesengajaan untuk memperkaya pihak tertentu? Semua pihak menunggu jawaban dan keadilan atas kasus ini.
Penulis: Dodi
Editor: Redaktur Jakarta