Maluku Utara, Halbar Jailolo — Aksi unjuk rasa yang digelar oleh sekelompok mahasiswa dan keluarga almarhum Abbas Saifuddin di Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KUPP) Jailolo menuai kontroversi. Demonstrasi yang awalnya diklaim sebagai bentuk protes atas dugaan sengketa lahan kini dipertanyakan motifnya, dengan dugaan kuat adanya kepentingan politik yang terstruktur untuk menggulingkan Kepala KUPP Jailolo, Rosihan Gamtjim.
Praktisi hukum Oktovianus Leki, S.H., bersama timnya menyoroti kejanggalan dalam aksi ini. Menurutnya, jika memang ada keberatan atas transaksi jual beli lahan tersebut, seharusnya pihak keluarga Abbas Saifuddin menyampaikan protes sebelum tanah itu dijual dan dibayar oleh negara melalui Kementerian Perhubungan Laut.
“Sangat aneh jika baru setelah kantor KUPP Jailolo berdiri, mereka mempersoalkan transaksi yang telah selesai bertahun-tahun lalu. Apalagi, tanah tersebut telah dibeli oleh negara dengan dokumen resmi berupa Akta Jual Beli (AJB) dan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah desa. Jika ada dugaan manipulasi dalam dokumen itu, mengapa bukan pemerintah desa yang pertama kali dimintai pertanggungjawaban?” tegas Oktovianus.
Ia juga menyoroti kemungkinan adanya motif lain di balik aksi tersebut. Menurutnya, fakta bahwa pihak keluarga menggandeng mahasiswa sebagai corong utama dalam demonstrasi mengindikasikan adanya pihak berkepentingan yang ingin menjatuhkan Kepala KUPP Jailolo dengan cara politis.
Dari sudut pandang hukum, sengketa tanah adalah ranah perdata yang harus diselesaikan di pengadilan. Oktovianus menegaskan bahwa jika pihak keluarga Abbas Saifuddin merasa dirugikan, mereka seharusnya menempuh jalur hukum, bukan dengan melakukan aksi demonstrasi yang justru berpotensi melanggar hukum.
“Jika mereka benar memiliki sertifikat atas tanah itu, maka jalur yang benar adalah mengajukan gugatan perdata. Tapi jika mereka memilih untuk melakukan aksi boikot terhadap akses jalan alternatif yang menjadi kepentingan umum, maka itu sudah masuk dalam kategori tindak pidana,” tegasnya.
Menurut Pasal 192 KUHP, tindakan menghalangi fasilitas umum dapat dianggap sebagai tindak pidana dengan ancaman hukuman berat. Oktovianus pun memperingatkan bahwa jika ada upaya boikot yang mengganggu akses transportasi laut, ia tidak akan ragu untuk membawa kasus ini ke ranah pidana.
Dengan semakin jelasnya indikasi politisasi dalam aksi demo ini, aparat penegak hukum diminta untuk bertindak cepat guna mencegah eskalasi konflik. Jika memang terdapat unsur pidana dalam aksi tersebut, maka tindakan tegas harus segera diambil.
“Negara telah membayar tanah itu secara sah, dan pembangunan kantor KUPP Jailolo dilakukan dengan dasar hukum yang kuat. Jika ada pihak yang merasa dirugikan, selesaikan di meja hijau, bukan dengan cara menciptakan kegaduhan publik yang diduga ditunggangi kepentingan politik tertentu,” pungkas Oktovianus.
Situasi ini kini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum di Jailolo untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa intervensi politik dan bahwa kepentingan publik tetap menjadi prioritas utama.
(Bersambung… Tim Investigasi)
Jurnalis: Dodi SH, Nay.