Gubernur Maluku Utara: Operator Istana dalam Cengkeraman Oligarki Tambang?

Jakarta, RadarTipikor – Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pola eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang semakin dikendalikan oleh kepentingan politik dan bisnis. Ia menyebut banyak kepala daerah, termasuk Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, sebagai bagian dari oligarki yang memfasilitasi eksploitasi SDA tanpa memperhatikan dampak lingkungan jangka panjang.

Faisal mengkritisi peran kepala daerah yang menjadi aktor utama dalam eksploitasi SDA di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Ia menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme ersatz,” di mana batas antara penguasa dan pelaku bisnis menjadi kabur, menciptakan konflik kepentingan yang merugikan masyarakat.

Faisal juga menyoroti kebijakan perizinan industri nikel yang terpusat di tangan pemerintah pusat, membuat kepala daerah hanya menjadi kepanjangan tangan elite di Jakarta. “Ia menuding kepala daerah yang terlibat sebagai badut istana yang hanya menjalankan kepentingan pusat dalam mengeksploitasi SDA di daerahnya.”

Situasi ini diperkirakan dapat menghambat kesejahteraan masyarakat karena keuntungan eksploitasi SDA lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit, sementara warga lokal semakin terpinggirkan. Faisal “menekankan pentingnya reformasi tata kelola SDA agar lebih inklusif dan berkelanjutan.”

Lebih lanjut, investigasi JATAM Maluku Utara mengungkap keterkaitan langsung Sherly Tjoanda dengan enam perusahaan berbasis lahan, yang sebagian besar sahamnya dimiliki olehnya. Hal ini memicu pertanyaan apakah Sherly sebagai gubernur juga merupakan pebisnis ekstraktif yang tidak terbebas dari kepentingan tambang.

Selain di tingkat provinsi, sejumlah bupati di Maluku Utara, seperti di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, dan Taliabu, juga dianggap sebagai bagian dari jaringan oligarki tambang. Eksploitasi tambang di daerah-daerah ini telah mengakibatkan krisis sosial dan ekologis, dengan lahan produktif warga dikuasai oleh perusahaan tambang, dan polusi udara dan air mengancam kesehatan warga.

Dengan semakin eratnya cengkeraman oligarki tambang di Maluku Utara, harapan terhadap perubahan kebijakan di tingkat daerah pun semakin memudar. Kepala daerah yang diharapkan menjadi pemimpin bagi rakyatnya justru terjebak dalam skenario besar politik nasional, di mana kepentingan elite lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan masyarakat. (Dodi)

Array
Related posts
Tutup
Tutup