Jakarta, RadarTipikor — Ekonom senior INDEF Faisal Basri mengungkap bahwa sepanjang tahun 2020-2023, sebanyak 5,6 juta ton bijih nikel diekspor dari Indonesia ke China, meskipun sebenarnya pemerintah telah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020. Hal ini terungkap dari data impor China yang dihimpun oleh International Trade Center (ITC).
Menurut Faisal Basri, meskipun tidak tercatat dari sisi Indonesia bahwa ada ekspor bijih nikel, “namun berdasarkan data dari bea cukai China, terungkap bahwa China telah mengimpor bijih nikel dari Indonesia sebanyak 5,6 juta ton dari tahun 2020 hingga 2023.”
“Saya baru memperbarui data bijih nikel itu dilarang diekspor mulai 2020. Jadi tidak tercatat dari sisi Indonesia ada ekspor bijih nikel,” kata Faisal Basri dalam diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/6). Sumber: CNNIndonesia.com
Data dari ITC juga menunjukkan bahwa ekspor bijih nikel ke China mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dengan jumlah ekspor pada 2020 sebanyak 3,4 juta ton, 800 ribu ton pada 2021, 1,1 juta ton pada 2022, dan 300 ribu ton pada 2023. Total ekspor bijih nikel ke China selama periode 2020-2023 mencapai 5,6 juta ton.
Faisal Basri sebelumnya juga menyoroti bahwa China mendapat keuntungan besar dari kebijakan hilirisasi nikel Indonesia, dengan persentase keuntungan yang mencapai 90 persen, sementara Indonesia hanya mendapatkan 10 persen dari keseluruhan keuntungan kebijakan tersebut. Hilirisasi bijih nikel di Indonesia hanya menghasilkan produk nickel pig iron (NPI) dan feronikel yang kemudian 99 persennya diekspor ke China, yang pada akhirnya mendukung industrialisasi di China.
Faisal Basri menegaskan bahwa “meskipun kebijakan hilirisasi dilakukan di Indonesia, namun sebagian besar keuntungannya justru dinikmati oleh China, dengan Indonesia hanya mendapatkan bagian kecil dari keseluruhan keuntungan tersebut.” (Amin Handoyo)