Halmahera Barat, JAILOLO — Muhammad Nofit (Vinot) Mahasiswa asal Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) mengutuk tindakan Pemerintah Daerah (Pemda) Halbar yang telah mencatut namaya serta sejumlah mahasiswa asal Halbar dalam daftar penerima beasiswa tahun anggaran 2023 lalu.
Pasalnya, Vinot yang namanya juga tertera dalam daftar penerima beasiswa yang di tetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Halbar Nomor 37/KPTS/I/2023 tentang Penetapan Daftar Penerima Bantuan Pendidikan dan Akhir Studi yang bersumber dari APBD Tahun 2023 mengaku sama sekali tak pernah menerima beasiswa apapun dari Pemda Halbar.
“Tercatat sekitar 63 nama mahasiswa yang dinyatakan sebagai penerima bantuan pendidikan tahun 2023 kemarin, Namun dari balik daftar yang terlihat resmi itu, tersimpan persoalan serius: praktik manipulatif yang secara terang-terangan merampas hak mahasiswa,” Tutur Vinot.
Vinot menyampaikan bahwa ia memang pernah mengajukan permohonan bantuan pendidikan pada akhir tahun 2022 lalu. Namun, ia menerima informasi bahwa dananya tidak bisa dicairkan atau tak ada tindak lanjut serta kejelasan.
Ironisnya, setelah dua tahun kemudian, tepatnya di tahun 2025, ia menemukan bahwa namanya tercantum dalam keputusan resmi pemerintah sebagai penerima dana bantuan studi pada periode tahun anggaran 2023.
“Satu rupiah pun tak pernah sampai ke tangan saya, kalau saya tidak iseng memeriksa dokumen keputusan bupati itu, mungkin saya tidak akan pernah tahu kalau nama saya dipakai untuk melegalkan praktek kotor itu. Faktanya, nama saya dicatut, dan saya tidak sendirian,” jelas Vinot.
Vinot pun mempertanyakan, ke mana dana itu mengalir? Serta siapa yang mencairkan dan menikmatinya?
Keputusan tersebut ditandatangani oleh Bupati Halmahera Barat, James Uang; Sekretaris Daerah kala itu, Syahril Abdul Rajak; Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Zubair Latif; Kepala Bagian Kesra dan Tenaga Kerja, Sania Tuarita (yang kemudian digantikan oleh M Iksan Dagasuly); serta Kepala Bagian Hukum dan Organisasi, Jason Kalopas Lalomo. Namun menurut Vinot, masalah ini bukan sekadar soal satu orang atau satu kasus. Ada nama-nama lain dalam daftar itu yang juga tidak pernah menerima dana sepeserpun atas nama beasiswa pendidikan.
“Ini bukan kelalaian semata, ini sistemik. Ada indikasi kuat bahwa pencatutan nama dilakukan secara terstruktur dan terencana. Kalau memang benar begitu, maka ini bukan hanya cacat administratif tetapi ini sudah masuk ranah pidana.”
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular Jakarta itu juga menjelaskan, secara hukum, pencatutan nama dalam dokumen resmi negara, serta penyaluran dana fiktif, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Pasal 263 KUHP menyatakan bahwa pemalsuan surat yang merugikan orang lain diancam pidana penjara paling lama hingga enam tahun. Bila pencatutan dilakukan untuk mengalihkan dana publik secara melawan hukum, maka itu dapat dikenakan Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” Tegasnya.
Vinot pun melanjutkan, Pasal 2 menyebut bahwa setiap orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara yang melawan hukum dan merugikan keuangan negara, diancam hukuman penjara 4 hingga 20 tahun. Sementara Pasal 3 menyasar pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya hingga menimbulkan kerugian negara.
Bagi Vinot, persoalan ini lebih dari sekadar administrasi atau dugaan korupsi biasa. Ini adalah gambaran nyata dari bagaimana birokrasi bisa berubah menjadi alat eksploitatif yang menyedot hak rakyat. Dana pendidikan, yang semestinya menjadi alat pembebasan sosial, justru dijadikan instrumen eksploitasi oleh elite birokrasi lokal.
“Pencatutan nama ini adalah bentuk alienasi. Ketika kita sebagai warga tidak lagi punya kendali atas identitas dan hak kita, berarti kita sedang dihisap oleh sistem yang dikuasai segelintir elite.”
Lebih lanjut, Vinot menyatakan masalah seperti ini bukan hanya soal perampasan hak mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi, melainkan juga merupakan problem dari ketidakbecusan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dalam menjamin keadilan dan kesejahteraan terhadap masyarakat.
“Kami berhak tahu ke mana dana itu pergi. Kami berhak menggugat. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal harga diri dan keadilan.”
Di akhir wawancara, Vinot menyampaikan bahwa dirinya akan mengusut kasus penggelapan dana dan pencatutan nama sejumlah mahasiswa terhadap pembagian bantuan dana pendidikan di Halbar.
“Kebenaran tidak lahir dari kesepakatan, tapi dari keberanian menantang kebusukan yang disepakati.”
Red.