Maluku Utara. Jailolo — Kilas cerita di kediaman Gamaludin A. Gafur, Jou Gugu Kesultanan Jailolo, tentang misteri sejarah Adik Kakak yang hilang ratusan tahun yang lalu di Kesultanan Jailolo. Misteri ini telah lama menjadi teka-teki yang belum terpecahkan dan kini disorot kembali oleh pemerintah daerah khususnya Halmahera Barat (Halbar). Kamis 5 Juni 2024.
Gamaludin A. Gafur menjelaskan bahwa sejarah Adik Kakak Sahu dan Wayoli, yang dahulu merupakan bagian dari pasukan maritim Kesultanan Jailolo, telah lama diabaikan oleh pemerintah daerah. Pasukan khusus ini dikenal dengan nama “Suka Wayoli” dan “Sahu,” masing-masing mengawal Sultan Jailolo di laut dan darat. Wayoli, menurut Gamaludin, merupakan nama orang Sahu yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga wilayah maritim.
“Sahu adalah kesibukan seluruh kekuasaan laut (maguloli). Mereka merupakan pasukan khusus angkatan laut yang bertugas mengawasi laut Jiko Makolano, dikenal dengan istilah ‘wela-wela di laut dayung pukul mundur lawan’ dan ‘daratan itu Uci worum sasadu’,” jelas Gamaludin.
Wayoli dan Sahu memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Kesultanan Jailolo. Sahu menguasai seluruh tanah adat di Jailolo, Sahu, Ibu, dan Loloda, yang disingkat menjadi Jasilo. Kedua kelompok ini dijadikan simbol yang dikenal sebagai Sasadu, melambangkan kapal dalam bahasa dahulu kala yang disebut Kagunga.
Namun, sejarah dan budaya yang kaya ini belum sepenuhnya diakui dan didaftarkan oleh pemerintah daerah Halbar, meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kemajuan Kebudayaan mengharuskan daerah untuk mendaftarkan hasil kebudayaannya. Empat tim ahli dari Kementerian Kebudayaan telah turun ke Halbar untuk menilai adat istiadat, tradisi lisan, pertunjukan, dan pemberitahuan tradisional, tetapi pemerintah daerah belum memberikan informasi yang memadai ke pusat.
Gamaludin mengkritik keras kinerja Bupati Jems Uang dan Jufri Muhammad, yang dianggap tidak serius dalam melestarikan kebudayaan Jailolo. “Ngara Indonesia sudah keluarkan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang kemajuan kebudayaan. Pemerintah daerah wajib memberikan informasi ke pusat, tetapi hingga kini cagar budaya Jailolo masih diabaikan,” tegasnya.
Gamaludin juga menyebutkan bahwa terdapat 22 hasil cagar budaya tertinggi di seluruh Maluku Utara, dengan Jailolo sebagai salah satu sektor kebudayaan yang paling terkenal. Sebelas di antaranya sudah diakui oleh provinsi, tetapi sebelas lainnya masih terkatung-katung karena pemerintah Halbar belum mengalokasikan anggaran yang diperlukan.
“Pemda Halbar tidak ada anggaran. Uang Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) saja tidak dibayar oleh Pemda setempat Halbar,” pungkas Gamaludin.
Protes keras ini menegaskan pentingnya pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan nyata dalam melestarikan dan mengakui warisan budaya Jailolo, demi menjaga kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Penulis : Ajo